Invasi Normandy tahun 1944 : Peran Penting Intelijen Dalam Perang
Invasi Normandia, yang nama kodenya adalah Operasi Overlord, adalah sebuah operasi pendaratan yang dilakukan oleh pasukan Sekutu saat Perang Dunia II pada tanggal 6 Juni 1944. Hingga kini Invasi Normandia merupakan invasi laut terbesar dalam sejarah, dengan hampir tiga juta tentara menyeberangi Selat Inggris dari Inggris ke Perancis yang diduduki oleh tentara Nazi Jerman. Mayoritas satuan tempur pada serangan ini adalah pasukan Amerika Serikat, Britania Raya, dan Kanada. Pasukan Kemerdekaan Perancis dan pasukan Polandia ikut bertempur setelah fase pendaratan. Selain itu, pasukan dari Belgia, Cekoslowakia, Yunani, Belanda, dan Norwegia juga turut serta. Invasi Normandia dibuka dengan pendaratan parasut dan glider pada dini hari, serangan udara dan artileri laut, dan pendaratan amfibi pagi hari, pada 6 Juni, D-Day. Pertempuran untuk menguasai Normandia berlanjut selama lebih dari dua bulan, dengan kampanye untuk menembus garis pertahanan Jerman dan menyebar dari pantai yang sudah dikuasai Sekutu. Invasi ini berakhir dengan dibebaskannya Paris, dan jatuhnya kantong Falaise pada akhir Agustus 1944.
Dalam sejarah Perang Dunia kedua, peran intelijen merupakan salah satu
faktor penting yang menunjang keberhasilan operasi militer terbesar
sepanjang sejarah -operasi Overlord- operasi pendaratan pasukan sekutu
di Normandia menjebol -Atlantic Wall- pagar pertahanan Jerman di Eropa
Barat. Keberhasilan operasi ini salah satunya ditentukan oleh kegagalan
Jerman dalam menerjemahkan data dan informasi tentang dari mana, dimana,dan kapan serangan akan dimulai.
Kegagalan menerjemahkan data dan informasi itu mengakibatkan Jerman terpaksa memecah pasukannya secara merata sepanjang bibir pantai Eropa
Barat sehingga lapisan pertahanannya menjadin tipis. Disisi lain, pihak
sekutu telah mempunyai data dan informasi yang sangat lengkap dan
memadai perihal kekuatan Jerman serta kondisi medan pendaratan.
Suksesnya operasi pendaratan itu membalikkan keadaan perang di front
Eropa, selanjutnya menjadi awal dari kejatuhan Jerman secara total.
Saat ini semua menerima bahwa D-Day, nama kode Operation Overlord, adalah operasi yang sukses. Namun pada saat itu, terdapat kekhawatiran yang mendalam bahwa pendaratan di Normandia akan gagal dan bahwa Jerman telah menunggu untuk melempar para penyerbu kembali ke laut, seperti yang telah dilakukan Jerman di Dieppe di tahun 1942. Churchill sendiri khawatir pada hari-hari pertama dengan 60.000 korban di Somme. Bahkan pada tanggal 6 Juni 1944 pagi, Eisenhower secara rahasia mulai membuat draft surat yang isinya dengan dimulai “Pendaratan di Normandia telah gagal...” untuk berjaga-jaga jika invasi berbuah bencana. Andai saja intelejen Jerman mampu menginterpretasikan informasi-informasi yang mereka kumpulkan dengan benar, mungkin Eisenhower akan dicatat dalam tinta sejarah sebagai komandan yang kalah dan dipermalukan. Namun, dibutakan oleh operasi penyesatan yang luar biasa di dalam sejarah, intelejen Jerman menjadi bingung, salah arah dan terpedaya akibat kesalahan interpretasi yang luar biasa tentang maksud sesungguhnya pasukan Sekutu.
Terhadap pertanyaan intelejen kunci dari pihak Jerman tentang “Apakah Sekutu akan menyerbu? Jika iya, kapan, dimana dan dengan kekuatan seperti apa?” Para staf intelejen Jerman, berikut para petingginya, memperoleh 3 jawaban yang salah....
Jerman tidak gagal untuk menyadari apakah Sekutu akan menyerbu; malah sebaliknya mereka menanti invasi Sekutu. Pada awal Januari 19944, Komandan Fremde Heere West (Foreign Armies West, or FHW), Kolonel Baron Alexis von Roenne, menerima sinyal penting dari agen rahasia dinas intelejen militer Jerman di Inggris, yang mengatakan bahwa Jenderal Eisenhower diperkirakan akan kembali ke Inggris. Usai kekalahan besar Jerman di Afrika Utara di tahun 1943, perkiraan tersebut hanya memiliki satu makna: Tahun 1944 adalah tahun bagi Front Kedua dan Ike akan memimpin kekuatan invasi di Barat.
Para perwira tinggi Jerman lainnya seperti Von Rundstedt, dan Rommel, Komandan Tentara Grup B, juga paham bahwa invasi Sekutu suatu keniscayaan. Pertanyaan kuncinya adalah dimana Sekutu akan menyerbu ? Pada bagian lain Selat Inggris, pertanyaan Runstedt dan Rommel juga menjadi topik pembicaraan kunci diantara para perencana Operasi Overlord.
Bahkan andai Sekutu tidak dapat menyembunyikan rencana invasi, mereka mempertimbangkan untuk membanjiri sebanyak mungkin informasi membingungkan pada agen-agen intelejen Jerman. Organisasi yang mendapat tugas untuk melakukan tugas yang krusial itu adalah sebuah kelompok unik yang disebut “Allied Deception Staff” yang lebih dikenal dengan nama samaran sebagai The London Controlling Section (LCS). Tugas utama LCS sederhana: memperdaya dan membingungkan Komando Tertinggi Jerman, termasuk Hitler, mengenai rencana pendaratan D-Day pasukan Sekutu.
Agar rencana ini berhasil, LCS mengusulkan serangkaian operasi penyesatan yang luas dan komprehensif untuk memberi umpan staf intelejen Jerman dengan informasi tepat apa yang mereka cari. Lebih dari itu, dengan mempergunakan informasi intelejen riil sebanyak mungkin, Bodyguard akan memberi Kolonel Von Roenne dari FHW gambaran yang cukup akurat mengenai kekuatan pasukan Sekutu.
Namun kecerdikan yang utama terletak pada upaya distorsi yang pintar yang didisain untuk membuat agen intelejen Jerman keliru mengenai waktu dan tempat yang pendaratan yang benar dan pembagian unit-unit tempur Sekutu. Informasi melimpah dan yang saling bertentangan terus dipompa secara langsung ke dalam sistem intejelen Jerman. Sejumlah informasi diantaranya, yang menarik, adalah benar. Bagi Jerman, satu-satunya masalah adalah: yang mana informasi yang benar? Dengan meminjam bahasa intelejen modern, tujuan LCS adalah membanjiri intelejen Jerman dengan ”Noise”.
Apa pun variasi pesan-pesan yang diterima, jika dikumpulkan oleh agen Abwehr yang cerdas akan mengindikasikan bahwa sebuah pasukan besar Inggris sedang berada di Skotlandia, bersiap untuk melakukan kampanye di kawasan pegunungan atau terjal. Penerbangan pesawat mata-mata Sekutu di atas fjord-fjord di Norwegia serta peningkatan aktivitas kapal perusak Inggris di lepas pantai Norwegia, hanya memiliki satu makna. Hitler kemudian merespon dengan memerintahkan tak kurang dari dua belas divisi siaga di Norwegia untuk menghadapi invasi yang tak pernah datang dari pasukan yang sesungguhnya tidak pernah ada.
Kolonel Bevan, sebagai personel kunci LCS yang sangat mahir dalam hal menciptakan informasi intelejen palsu memiliki satu trik pamungkas lainnya. Alangkah bagusnya, jika seorang Jenderal Jerman yang terpercaya dapat “membenarkan” laporan keliru yang melimpah yang telah dipompa ke mesin intelejen Jerman sebagai sebuah laporan intelejen yang akurat. Kebetulan Inggris berhasil menangkap Jenderal von Cramer pada bulan Mei 1943 saat kekuatan Poros hancur di Tunisia. Sebagai tawanan perang di Inggris kesehatan Jenderal von Cramer terus menurun, sehingga di bulan Mei 1944 pihak Palang Merah mengatur kepulangan dia kembali ke Jerman melalui kapal netral Swedia. Staf Sevan telah mengatur agar kepulangan Jenderal von Cramer tidak dalam keadaan “tangan kosong”. Secara sengaja, saat hendak menuju ke kapal, dia melewati konsentrasi pasukan di Sebelah Selatan Inggris hingga “Markas Besar” Jenderal Patton. Pada saat menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Patton untuk menghormati dia sebelum berangkat kembali ke Jerman, von Cramer dipertemukan dengan beberapa “Komandan Divisi” yang bersikap baik dan ramah kepada seorang Jenderal musuh, namun, sempat terdengar bergosip tentang “Calais”.
Segala tipu muslihat tersebut berhasil dengan baik. Pada tanggal 24 Mei, hanya tiga belas hari sebelum D-Day, Jenderal von Cramer telah kembali berada di Berlin,melaporkan kepada Kepala Staff Wehrmacht, Jenderal Zeitzler, segala yang dia lihat dan dengar selama di Inggris. Tidak mengejutkan jika kemudian laporan von Cramer tersebut ”nyambung” dengan seluruh informasi intelejen yang telah dikumpulkan oleh Jerman dan menjadikan laporan asesmen intelejen oleh von Roenne kian dipercaya.
Sehingga, pada hari-hari terakhir menjelang pendaratan, operasi penyesatan intelejen yang luar biasa oleh LCS telah menjadi dasar bagi Jerman dalam pengambilan keputusan. Bahkan Hitler sendiri, kendati intuisinya sempat mengarahkan dia ke Normandia pada saat terakhri, telah merubah disposisinya. Dampaknya sungguh luar biasa. Dari 300 Divisi tentara Jerman, hanya 60 yang aktif di Barat: kurang dari 20 persen kekuatan. Dan dari jumlah itu (20 Divisi), hanya 8 (delapan) divisi yang ditempatkan berhadapan dengan Sekutu tepat ditempat pasukan Sekutu akan mendarat !. Sisanya menyebar antara Balkan, Itali, Rusia, dan Selatan Perancis, Denmark, Belanda, Norwegia, dan yang paling penting, Pas de Calais.
Berdasarkan informasi yang berhasil diintersep oleh LCS pada tanggal 1 dan 2 Juni, serta laporan utusan Jepang, Oshima, ke Tokyo yang mengabarkan bahwa Hitler sendiri pada akhirnya memperkirakan pendaratan Sekutu akan jatuh di Pas de Calais, dan menganggap serangan pengalihan dimana pun itu nantinya pasukan Sekutu mendarat selain di Pas de Calais. Kondisi itu menyebabkan von Roennde and seluruh mesin intelejen Jerman melakukan tepat apa yang diinginkan oleh Sekutu. Ringkasan akhir intelejen Jerman pada akhir Mei 1944 sungguh seperti catalog kesalahan intejen Jerman: Jerman yakin bahwa Sekutu akan menyerang dalam cuaca yang baik, di malam hari menjelang gelombang pasang. Mereka juga memperkirakan akan terdapat beberapa pendaratan palsu/ penyesatan untuk menarik pasukan Jerman menjauh dari tempat pendaratan sesungguhnya – Pas de Calais.
Operasi-operasi penyesatan itu sangat berhasil hingga Hitler sendiri memberikan otorisasi perintah kepada seluruh divisi untuk tetap berada di Pas de Calais tepat sebulan setelah pendaratan di Normandia, sebagai kekuatan anti-pendaratan (yang sesungguhnya telah mendarat di Normandia). Bagi Bevan dan timnya hal ini merupakan kemenangan intelejen yang gemilang, sementara bagi von Roenne dan Komando Tinggi Jerman, hal itu merupakan bencana intelejen.
Kesalahannya barangkali karena telah mengabaikan perlunya analisis kritis: apakah ini benar? Apakah (laporan) ini kredibel? Apakah (laporan) ini dikonfirmasi oleh pihak lain?
Dihadapkan pada pertanyaan” Apakah Sekutu akan menyerang? Jika iya, kapan, dimana dan dengan kekuatan seperti apa?” Staff intelejen Jerman memberikan jawaban yang salah sama sekali. Sebuah kesalahan fatal yang berujung pada kehancuran Berlin dan runtuhnya Kekaisaran Ketiga. Sangat jarang kesalahan perkiraan intelejen memiliki konsekuensi menimbulkan bencana dan tragedi yang hebat.
Dalam sejarah Perang Dunia kedua, peran intelijen merupakan salah satu
faktor penting yang menunjang keberhasilan operasi militer terbesar
sepanjang sejarah -operasi Overlord- operasi pendaratan pasukan sekutu
di Normandia menjebol -Atlantic Wall- pagar pertahanan Jerman di Eropa
Barat. Keberhasilan operasi ini salah satunya ditentukan oleh kegagalan
Jerman dalam menerjemahkan data dan informasi tentang dari mana, dimana,dan kapan serangan akan dimulai.
Kegagalan menerjemahkan data dan informasi itu mengakibatkan Jerman terpaksa memecah pasukannya secara merata sepanjang bibir pantai Eropa
Barat sehingga lapisan pertahanannya menjadin tipis. Disisi lain, pihak
sekutu telah mempunyai data dan informasi yang sangat lengkap dan
memadai perihal kekuatan Jerman serta kondisi medan pendaratan.
Suksesnya operasi pendaratan itu membalikkan keadaan perang di front
Eropa, selanjutnya menjadi awal dari kejatuhan Jerman secara total.
Saat ini semua menerima bahwa D-Day, nama kode Operation Overlord, adalah operasi yang sukses. Namun pada saat itu, terdapat kekhawatiran yang mendalam bahwa pendaratan di Normandia akan gagal dan bahwa Jerman telah menunggu untuk melempar para penyerbu kembali ke laut, seperti yang telah dilakukan Jerman di Dieppe di tahun 1942. Churchill sendiri khawatir pada hari-hari pertama dengan 60.000 korban di Somme. Bahkan pada tanggal 6 Juni 1944 pagi, Eisenhower secara rahasia mulai membuat draft surat yang isinya dengan dimulai “Pendaratan di Normandia telah gagal...” untuk berjaga-jaga jika invasi berbuah bencana. Andai saja intelejen Jerman mampu menginterpretasikan informasi-informasi yang mereka kumpulkan dengan benar, mungkin Eisenhower akan dicatat dalam tinta sejarah sebagai komandan yang kalah dan dipermalukan. Namun, dibutakan oleh operasi penyesatan yang luar biasa di dalam sejarah, intelejen Jerman menjadi bingung, salah arah dan terpedaya akibat kesalahan interpretasi yang luar biasa tentang maksud sesungguhnya pasukan Sekutu.
Terhadap pertanyaan intelejen kunci dari pihak Jerman tentang “Apakah Sekutu akan menyerbu? Jika iya, kapan, dimana dan dengan kekuatan seperti apa?” Para staf intelejen Jerman, berikut para petingginya, memperoleh 3 jawaban yang salah....
Jerman tidak gagal untuk menyadari apakah Sekutu akan menyerbu; malah sebaliknya mereka menanti invasi Sekutu. Pada awal Januari 19944, Komandan Fremde Heere West (Foreign Armies West, or FHW), Kolonel Baron Alexis von Roenne, menerima sinyal penting dari agen rahasia dinas intelejen militer Jerman di Inggris, yang mengatakan bahwa Jenderal Eisenhower diperkirakan akan kembali ke Inggris. Usai kekalahan besar Jerman di Afrika Utara di tahun 1943, perkiraan tersebut hanya memiliki satu makna: Tahun 1944 adalah tahun bagi Front Kedua dan Ike akan memimpin kekuatan invasi di Barat.
Para perwira tinggi Jerman lainnya seperti Von Rundstedt, dan Rommel, Komandan Tentara Grup B, juga paham bahwa invasi Sekutu suatu keniscayaan. Pertanyaan kuncinya adalah dimana Sekutu akan menyerbu ? Pada bagian lain Selat Inggris, pertanyaan Runstedt dan Rommel juga menjadi topik pembicaraan kunci diantara para perencana Operasi Overlord.
Bahkan andai Sekutu tidak dapat menyembunyikan rencana invasi, mereka mempertimbangkan untuk membanjiri sebanyak mungkin informasi membingungkan pada agen-agen intelejen Jerman. Organisasi yang mendapat tugas untuk melakukan tugas yang krusial itu adalah sebuah kelompok unik yang disebut “Allied Deception Staff” yang lebih dikenal dengan nama samaran sebagai The London Controlling Section (LCS). Tugas utama LCS sederhana: memperdaya dan membingungkan Komando Tertinggi Jerman, termasuk Hitler, mengenai rencana pendaratan D-Day pasukan Sekutu.
Agar rencana ini berhasil, LCS mengusulkan serangkaian operasi penyesatan yang luas dan komprehensif untuk memberi umpan staf intelejen Jerman dengan informasi tepat apa yang mereka cari. Lebih dari itu, dengan mempergunakan informasi intelejen riil sebanyak mungkin, Bodyguard akan memberi Kolonel Von Roenne dari FHW gambaran yang cukup akurat mengenai kekuatan pasukan Sekutu.
Namun kecerdikan yang utama terletak pada upaya distorsi yang pintar yang didisain untuk membuat agen intelejen Jerman keliru mengenai waktu dan tempat yang pendaratan yang benar dan pembagian unit-unit tempur Sekutu. Informasi melimpah dan yang saling bertentangan terus dipompa secara langsung ke dalam sistem intejelen Jerman. Sejumlah informasi diantaranya, yang menarik, adalah benar. Bagi Jerman, satu-satunya masalah adalah: yang mana informasi yang benar? Dengan meminjam bahasa intelejen modern, tujuan LCS adalah membanjiri intelejen Jerman dengan ”Noise”.
Apa pun variasi pesan-pesan yang diterima, jika dikumpulkan oleh agen Abwehr yang cerdas akan mengindikasikan bahwa sebuah pasukan besar Inggris sedang berada di Skotlandia, bersiap untuk melakukan kampanye di kawasan pegunungan atau terjal. Penerbangan pesawat mata-mata Sekutu di atas fjord-fjord di Norwegia serta peningkatan aktivitas kapal perusak Inggris di lepas pantai Norwegia, hanya memiliki satu makna. Hitler kemudian merespon dengan memerintahkan tak kurang dari dua belas divisi siaga di Norwegia untuk menghadapi invasi yang tak pernah datang dari pasukan yang sesungguhnya tidak pernah ada.
Kolonel Bevan, sebagai personel kunci LCS yang sangat mahir dalam hal menciptakan informasi intelejen palsu memiliki satu trik pamungkas lainnya. Alangkah bagusnya, jika seorang Jenderal Jerman yang terpercaya dapat “membenarkan” laporan keliru yang melimpah yang telah dipompa ke mesin intelejen Jerman sebagai sebuah laporan intelejen yang akurat. Kebetulan Inggris berhasil menangkap Jenderal von Cramer pada bulan Mei 1943 saat kekuatan Poros hancur di Tunisia. Sebagai tawanan perang di Inggris kesehatan Jenderal von Cramer terus menurun, sehingga di bulan Mei 1944 pihak Palang Merah mengatur kepulangan dia kembali ke Jerman melalui kapal netral Swedia. Staf Sevan telah mengatur agar kepulangan Jenderal von Cramer tidak dalam keadaan “tangan kosong”. Secara sengaja, saat hendak menuju ke kapal, dia melewati konsentrasi pasukan di Sebelah Selatan Inggris hingga “Markas Besar” Jenderal Patton. Pada saat menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Patton untuk menghormati dia sebelum berangkat kembali ke Jerman, von Cramer dipertemukan dengan beberapa “Komandan Divisi” yang bersikap baik dan ramah kepada seorang Jenderal musuh, namun, sempat terdengar bergosip tentang “Calais”.
Segala tipu muslihat tersebut berhasil dengan baik. Pada tanggal 24 Mei, hanya tiga belas hari sebelum D-Day, Jenderal von Cramer telah kembali berada di Berlin,melaporkan kepada Kepala Staff Wehrmacht, Jenderal Zeitzler, segala yang dia lihat dan dengar selama di Inggris. Tidak mengejutkan jika kemudian laporan von Cramer tersebut ”nyambung” dengan seluruh informasi intelejen yang telah dikumpulkan oleh Jerman dan menjadikan laporan asesmen intelejen oleh von Roenne kian dipercaya.
Sehingga, pada hari-hari terakhir menjelang pendaratan, operasi penyesatan intelejen yang luar biasa oleh LCS telah menjadi dasar bagi Jerman dalam pengambilan keputusan. Bahkan Hitler sendiri, kendati intuisinya sempat mengarahkan dia ke Normandia pada saat terakhri, telah merubah disposisinya. Dampaknya sungguh luar biasa. Dari 300 Divisi tentara Jerman, hanya 60 yang aktif di Barat: kurang dari 20 persen kekuatan. Dan dari jumlah itu (20 Divisi), hanya 8 (delapan) divisi yang ditempatkan berhadapan dengan Sekutu tepat ditempat pasukan Sekutu akan mendarat !. Sisanya menyebar antara Balkan, Itali, Rusia, dan Selatan Perancis, Denmark, Belanda, Norwegia, dan yang paling penting, Pas de Calais.
Berdasarkan informasi yang berhasil diintersep oleh LCS pada tanggal 1 dan 2 Juni, serta laporan utusan Jepang, Oshima, ke Tokyo yang mengabarkan bahwa Hitler sendiri pada akhirnya memperkirakan pendaratan Sekutu akan jatuh di Pas de Calais, dan menganggap serangan pengalihan dimana pun itu nantinya pasukan Sekutu mendarat selain di Pas de Calais. Kondisi itu menyebabkan von Roennde and seluruh mesin intelejen Jerman melakukan tepat apa yang diinginkan oleh Sekutu. Ringkasan akhir intelejen Jerman pada akhir Mei 1944 sungguh seperti catalog kesalahan intejen Jerman: Jerman yakin bahwa Sekutu akan menyerang dalam cuaca yang baik, di malam hari menjelang gelombang pasang. Mereka juga memperkirakan akan terdapat beberapa pendaratan palsu/ penyesatan untuk menarik pasukan Jerman menjauh dari tempat pendaratan sesungguhnya – Pas de Calais.
Operasi-operasi penyesatan itu sangat berhasil hingga Hitler sendiri memberikan otorisasi perintah kepada seluruh divisi untuk tetap berada di Pas de Calais tepat sebulan setelah pendaratan di Normandia, sebagai kekuatan anti-pendaratan (yang sesungguhnya telah mendarat di Normandia). Bagi Bevan dan timnya hal ini merupakan kemenangan intelejen yang gemilang, sementara bagi von Roenne dan Komando Tinggi Jerman, hal itu merupakan bencana intelejen.
Kesalahannya barangkali karena telah mengabaikan perlunya analisis kritis: apakah ini benar? Apakah (laporan) ini kredibel? Apakah (laporan) ini dikonfirmasi oleh pihak lain?
Dihadapkan pada pertanyaan” Apakah Sekutu akan menyerang? Jika iya, kapan, dimana dan dengan kekuatan seperti apa?” Staff intelejen Jerman memberikan jawaban yang salah sama sekali. Sebuah kesalahan fatal yang berujung pada kehancuran Berlin dan runtuhnya Kekaisaran Ketiga. Sangat jarang kesalahan perkiraan intelejen memiliki konsekuensi menimbulkan bencana dan tragedi yang hebat.
Komentar